LIMA POKOK CALVINISME (TULIP)
Yakub Tri Handoko, Th. M.
Doktrin ketekunan orang-orang kudus memiliki dukungan Alkitab yang sangat kuat, namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang menerima konsep tersebut. Kalangan Armenian menganggap doktrin ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab maupun kenyataan yang dialami sebagian orang Kristen. Mereka mengajukan empat keberatan utama terhadap doktrin ini.
Kalangan Armenian menganggap doktrin jaminan keselamatan tidak sesuai dengan teks-teks tertentu dalam Alkitab yang mengajarkan adanya kemungkinan terjadi kemurtadan. Kemungkinan ini terlihat dari perintah-perintah terhadap bahaya kemurtadan. Yesus memperingatkan murid-murid agar tidak seorang pun menyesatkan mereka (Mat 24:4). Mereka dinasehati agar terus bertahan, karena hanya mereka yang bertahan sampai akhir akan diselamatkan (Mat 24:11-13). Paulus juga memberi nasehat kepada jemaat di Kolose agar mereka bertekun dalam iman, tidak goyah dan tidak bergeser dari pengharapan injil (Kol 1:21-23a). Bagi mereka yang menganggap diri kuat Paulus memperingatkan mereka untuk berhati-hati supaya tidak jatuh (1Kor 10:12). Paulus sendiri sangat berhati-hati dalam kehidupan rohaninya supaya dia pada akhirnya tidak ditolak oleh Allah (1Kor 9:27). Jika orang percaya tidak mungkin murtad, lalu apa gunanya semua peringatan tersebut? Apa gunanya Paulus menguatirkan akhir hidupnya? Bukankah semua itu hanya merupakan sebuah basa-basi?
Selain teks-teks di atas, peringatan yang jauh lebih serius dapat dilihat dalam kitab Ibrani. Penerima surat ini sedang menghadapi penganiayaan dan tekanan dari para pengikut agama Yahudi (Yudaisme). Dalam situasi seperti ini penulisnya menasehatkan supaya mereka tidak terbawa arus kesesatan (2:1). Pasal 3:12-14 secara lebih eksplisit memperingatkan mereka yang disebut “saudara” (baca: orang Kristen, ayat 12) untuk tidak murtad, karena hanya mereka yang bertahan yang akan diselamatkan. Peringatan yang paling serius dan sering dipakai oleh orang Armenian untuk menyanggah doktrin ketekunan orang-orang kudus terdapat dalam Ibrani 6:4-6. Peringatan serupa juga diberikan lagi di pasal 10:26-27. Dalam dua teks terakhir ini terlihat bahwa orang yang sudah pernah mengalami karya Roh Kudus dalam hatinya – misalnya diterangi hatinya, mendapat karunia rohani, memperoleh pengetahuan tentang kebenaran – ternyata dapat menjadi murtad dan binasa.
Bagaimana kita meresponi sanggahan ini? Apakah benar orang percaya memang ada kemungkinan menjadi murtad? Jika ya, bagaimana kita mengharmonisasikan teks-teks tersebut dengan teks-teks lain yang mendukung doktrin ketekunan orang-orang kudus? Jika tidak, bagaimana kita seharusnya memahami teks-teks tersebut di atas?
Untuk menjawab sanggahan di atas, saya akan membagi jawaban menjadi dua bagian: jawaban secara umum dan jawaban khusus terhadap Ibrani 6:4-6. Pertama-tama mari kita melihat jawaban yang bersifat umum lebih dahulu. Semua peringatan dan nasehat di atas tidak bertentangan dengan doktrin ketekunan orang-orang kudus. Semua itu merupakan alat yang dipakai Allah untuk memastikan bahwa orang yang sudah percaya tidak akan murtad (Erickson, Christian Theology, 1005). Seperti sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, keselamatan memang anugerah Allah, tetapi hal itu tidak berarti bahwa setelah diselamatkan seseorang hanya perlu berdiam diri saja. Dia harus melibatkan diri dalam ketaatan, sekalipun kemauan dan kemampuan untuk itu tetap berasal dari Allah (Flp 2:13). Di sinilah berbagai nasehat dan peringatan – bahkan yang sangat serius sekalipun – perlu diberikan supaya orang itu diberi kemampuan melalui firman Allah untuk bertahan dalam anugerah.
Jawaban di atas dapat dijelaskan dengan sebuah ilustrasi sebagai berikut. Seorang ayah yang kuatir kalau anaknya berlari ke jalan dan ditabrak oleh sebuah mobil dapat melakukan dua hal untuk mencegah hal itu terjadi. Dia dapat mendirikan pagar yang cukup tinggi dan tidak mungkin dapat dipanjat oleh anak kecil. Jika ini yang dilakukan, maka si anak tidak perlu diberi peringatan apapun, karena peringatan tersebut tidak berguna sama sekali. Cara kedua yang dapat dilakukan si ayah untuk menjamin keselamatan anaknya adalah dengan terus-menerus memperingatkan anaknya tentang bahaya menyeberang jalanan yang ramai bagi seorang anak kecil sambil dia menempatkan seorang satpam di depan pintu pagar untuk menjaga apakah anak itu mematuhi peringatan tersebut. Dari dua analogi ini, yang terakhir lebih tepat menggambarkan konsep jaminan keselamatan orang percaya. Allah menjamin keselamatan kita bukan dengan cara menghilangkan kemungkinan untuk murtad, tetapi melalui berbagai cara untuk memastikan bahwa kemungkinan itu tidak akan terjadi.
Sekarang mari kita selidiki Ibrani 6:4-6 secara lebih teliti untuk mengetahui apakah orang yang dimaksud dalam teks ini adalah orang yang sudah sungguh-sungguh percaya dan apakah ada kemungkinan bagi dia untuk murtad. Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa semua berkat di ayat 4-5 tidak dapat diidentikkan dengan berkat keselamatan atau berkat-berkat yang menyertai keselamatan.
Berikut ini adalah beberapa argumen yang mendukung pandangan tersebut. Pertama, ungkapan-ungkapan yang dipakai di ayat 4-5 dapat ditafsirkan dalam banyak cara, sehingga pedoman utama kita adalah penyelidikan konteks.
Kedua, situasi di ayat 4-6 tidak boleh dipisahkan dari ayat 7-8 yang merupakan ilustrasi dari bagian tersebut. Di ayat 7-8 dijelaskan tentang tanah yang menerima hujan yang sama tetapi memberi hasil yang berbeda: tumbuhan yang berguna dan semak duri. Dua jenis tanah ini sama-sama menerima hujan secara terus-menerus (merujuk pada berkat-berkat rohani di ayat 4-5), tetapi ternyata memberi hasil yang berbeda. Dari ilustrasi ini terlihat bahwa pemberian hujan secara an sich (pada dirinya sendiri) tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui kualitas tanah tersebut. Kualitas kedua tanah justru akan semakin terlihat setelah menerima hujan yang cukup banyak. Jadi, ayat 7-8 tidak berbicara tentang satu jenis tanah yang memberikan buah yang banyak tetapi kemudian menghasilkan seak duri. Teks ini berbicara tentang tanah yang memberi respon berbeda terhadap hujan yang sama.
Ketiga, penulis kitab Ibrani meyakini bahwa penerima suratnya telah memiliki hal-hal (jamak, kontra LAI:TB) yang lebih baik yang mengandung keselamatan (ayat 9). Hal-hal yang baik di ayat ini jelas harus dikontraskan dengan hal-hal di ayat 4-5. Jika hal-hal yang lebih baik di ayat 9 mengandung keselamatan, maka hal-hal di di ayat 4-5 pada dirinya sendiri tidak secara otomatis mengandung keselamatan. Selanjutnya di ayat 10-12 penulis kitab Ibrani menyebutkan hal-hal yang lebih baik yang mengandng keselamatan, yaitu pekerjaan, kasih, pelayanan, kesetiaan, pengharapan yang pasti, iman, ketekunan dan warisan janji-janji Allah.
Keempat, penulis kitab Ibrani di bagian lain menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengandung keselamatan yang berbeda dengan ungkapan yang dia pakai di Ibrani 6:4-5. Ungkapan tersebut antara lain: Allah telah mengampuni dosa mereka (10:17; 8:12), memurnikan hati nurani mereka (9:14; 10:22), menuliskan hukum-hukum-Nya dalam hati mereka (8:10; 10:16), mengerjakan kekudusan hidup dalam diri mereka (2:11; 10:14; 13:21), memberikan kerajaan yang tidak tergoyahkan (12:28), berkenan kepada mereka (13:16, 21), mereka memiliki iman (4:3; 6:12; 10:22,38,39; 12:2; 13:7), mereka memiliki pengharapan (6:11,18; 7:19; 10:23), memiliki kasih (6:10; 10:33-34; 13:1), menaati Allah (5:9; 10:36; 12:10,11,14), bertekun (3:6,14; 6:11; 10:23).
Terakhir, penulis kitab Ibrani di bagian lain justru mengajarkan kepastian keselamatan orang percaya. Orang percaya sudah mendapat bagian dalam Kristus, walaupun hal ini baru akan dibuktikan (bukan dicapai) melalui ketekunan mereka (3:6, 14). Mereka dikuduskan sekali oleh darah Kristus supaya kudus selama-lamanya (10:14). Allah melengkapi dengan segala sesuatu yang baik untuk menaati kehendak-Nya dengan cara mengerjakan di dalam diri kita apa yang berkenan kepada-Nya (13:20-21). Teks terakhir ini menunjukkan bahwa ketaatan kita merupakan pekerjaan Allah di dalam kita (band. Flp 2:13).
Sanggahan kedua yang sering diajukan pihak Armenian didasarkan pada pengalaman sebagian orang Kristen yang pada akhirnya meninggalkan iman mereka. Pengalaman ini dapat dilihat dari beberapa contoh di Alkitab maupun orang-orang di sekitar kita. Contoh dalam Alkitab mencakup Raja Saul yang akhirnya ditolak oleh Allah (1Sam 15:23b) dan yang mengakhiri hidupnya dengan tragis (1Sam 31:1-4), Yudas Iskariot yang termasuk 12 rasul dan mengadakan mujizat (band. Mat 10:1; Luk 10:17), Ananias dan Safira (Kis 5:1-11), Himeneus dan Aleksander yang menolak hati nurani yang murni (1Tim 1:19-20), Himeneus dan Filetus yang menyimpang dari kebenaran (2Tim 2:17-18), Demas (2Tim 4:10), guru-guru palsu yang menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka (2Pet 2:1-2).
Bagaimana menjelaskan fenomena di atas? Apakah fakta tersebut membuktikan bahwa keselamatan orang Kristen dapat hilang? Jawabannya adalah tidak! Kita perlu lebih berhati-hati menilai kesungguhan pertobatan seseorang. Rasul Yohanes memperingatkan adanya orang-orang tertentu yang termasuk dalam lingkungan orang percaya tetapi dia tidak sungguh percaya (1Yoh 2:18-19). Yesus bahkan mengatakan bahwa pada akhir jaman akan ada orang-orang yang ditolak-Nya, sekalipun mereka telah bernubuat, mengadakan mujizat dan mengusir setan demi nama Tuhan (Mat 7:21-23), karena mereka adalah para nabi palsu (Mat 7:15) yang tidak menunjukkan buah pertobatan (Mat 7:16-20). Sebagaimana iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang, demikian pula para pengikutnya dapat mengelabui mata orang (2Kor 11:14). Di ladang Allah terdapat lalang dan gandum yang untuk sementara waktu sulit untuk dibedakan oleh orang awam dan Tuhan memang menghendaki hal itu sampai penghakiman tiba (Mat 13:24-30). Ada orang yang secara lahiriah tampaknya saleh dalam ibadah tetapi mereka tidak sungguh-sungguh berbadah (2Tim 3:5), munafik (Mat 6:1-16; 23:13-36) atau memiliki motivasi ibadah yang keliru (1Tim 6:3-10).
Dengan pemahaman seperti ini, sekarang marilah kita menyelidiki contoh-contoh Alkitab di atas.
Dalam beberapa kasus kemurtadan, selain perlu menguji kesungguhan pertobatan seseorang, kita juga perlu memperhatikan akhir hidup mereka. Doktrin ketekunan orang-orang kudus tidak mengajarkan bahwa orang Kristen yang sungguh-sungguh akan kebal terhadap dosa atau tidak pernah mengalami kekeringan secara rohani. Alkitab bahkan memberi beberapa contoh tentang kejatuhan orang percaya yang tergolong sangat rusak. Daud melakukan perzinahan, pencurian, kebohongan dan pembunuhan sekaligus dan semuanya sudah dia rencanakan (1Sam 11-12). Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali (Mat 26:75).
Yang membedakan orang percaya sejati dari orang lain adalah kesementaraan kejatuhan tersebut (bukan hidup di dalam dosa) dan alasan kejatuhan yang disebabkan kelemahan mereka (bukan sengaja menganggap suatu dosa sebagai sesuatu yang baik). Charles Spurgeon menggambarkan kehidupan rohani orang percaya seperti orang yang berada di dek sebuah kapal dengan pagar yang cukup tinggi. Dia mungkin jatuh beberapa kali di atas dek tersebut karena hempasan ombak yang cukup kuat, tetapi dia tidak akan pernah jatuh ke dalam laut. Dia akan tetap berada di dek itu.
Sanggahan terakhir yang diberikan oleh pihak Armenian berhubungan dengan ekses negatif yang mungkin timbul dari doktrin ketekunan orang-orang kudus. Konsep tentang jaminan keselamatan orang percaya dianggap mendorong orang untuk tidak hidup dalam kekudusan dan menganggap remeh dosa. Jika sekali selamat tetap selamat, maka mereka menganggap bahwa kita boleh berbuat dosa semau kita, karena hal itu tidak akan mempengaruhi keselamatan kita.
Sanggahan ini sebenarnya lebih banyak disebabkan ketidaktahuan terhadap doktrin ketekunan orang-orang kudus yang diajarkan oleh teolog Reformed. Doktrin ini sama sekali tidak mengajarkan gaya hidup yang permisif terhadap dosa. Kita perlu menegaskan lagi bahwa doktrin ini didahului dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Panggilan ini adalah panggilan yang kudus (1Tim 1:9) dan memiliki tujuan bukan hanya keselamatan seseorang, tetapi kekudusan hidup dan kesempurnaan karakter Kristiani (Ef 1:4). Orang yang menganggap diri dipilih Allah tetapi hidup di dalam dosa berarti dia tidak memahami arti pilhan tersebut.
Doktrin ketekunan orang-orang kudus juga didahului dengan doktrin panggilan efektif (anugerah yang tidak dapat ditolak) yang mengajarkan tentang karya internal Roh Kudus dalam diri orang berdosa. Orang yang sudah mengalami karya ini tidak mungkin lagi dikuasai oleh dosa (Rom 6:14). Jika ada orang yang mengaku sudah mengaami panggilan efektif tetapi masih mencintai dosa, maka orang itu sudah sepatutnya dihukum (Rom 3:8b).
Lebih jauh, pemuliaan orang Kristen merupakan sebuah proses yang panjang. Keselamatan memang sudah diberikan pada saat seseorang percaya kepada Yesus Kristus dengan sungguh-sungguh, namun keselamatan itu bukanlah sebuah titik. Ini merupakan bagian awal dari sebuah garis panjang yang berujung pada pemuliaan orang percaya. Di dalam garis inilah orang Kristen terlibat di dalamnya melalui ketaatan mereka untuk hidup dalam kekudusan. John Piper mengatakan “election is unconditional, but glorification is not”. Pernyataan ini tidak berarti bahwa pemuliaan bukan merupakan anugerah Allah. Pernyataan ini hanya mengajarkan bahwa dalam kasus predestinasi orang percaya sama sekali tidak berpartisipasi di dalamnya, tetapi dalam kasus pemuliaan mereka harus berjuang untuk mewujudkannya. Mereka harus mengerjakan keselamatan mereka (Flp 2:12, mayoritas versi Inggris “work out your salvation”, bukan “work for your salvation”). Ibrani 3:14 mengajarkan “Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula”. Kata “telah” dan “asal saja” di ayat ini menunjukkan kepastian sekaligus perjuangan orang percaya.
© 2021 Sekolah Teologi Awam Reformed